Minggu, 12 Juni 2016

MENGAPRESIASIKAN IKHLAS (DARI BAPAK K. AAS AHMAD HULASOH, S.Pd.I.,M.Pd)

Bismillaah,,
Sahabatku, sesuatu yang mudah diucapkan tetapi sangat berat untuk diaplikasikan adalah ikhlash. Sementara ikhlash adalah salah satu syarat diterimanya ibadah. Bagi para Fuqaha’ keikhlasan itu terletak pada niat seseorang ketika hendak beribadah, sehingga pada ibadah-ibadah yang disyaratkan niat yang bahkan niat tersebut merupakan rukun dari ibadah-ibadah tertentu disitulah arena mengaplikasikan keikhlasan, bahkan niat yang ikhlas itu harus terwujud baik dalam hatinya, lisannya, dan fikirannya. Lalu mengupayakan keikhlasan tersebut terus menerus selama menjalankan ibadah-ibadah. Tapi saya yakin bagi kita yang masih awam dan sepanjang hari dihiasi pesona-pesona dari luar akan sangat sulit melaksanakan ibadah dengan ikhlas.
Dalam kitab Bustaan al-‘Arifiin, Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarof an Nawawy yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawy rahimahullah berkata:
أما الاخلاص فقال الله تعالى (وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين) الآية وروينا عن حذيفة بن اليمان رضي الله تعالى عنه قال سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الاخلاص ما هو فقال سألت جبريل عن الاخلاص ما هو فقال سألت رب العزة عن الاخلاص ما هو فقال سر من أسراري أودعته قلب من أحب من عبادي
“Adapun ikhlas, maka Allah berfirman: ‘Padahal mereka hanya diperintah beribadah kepada Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama….’ (Q.S. al-Bayyinah [98]:5). Dan kami meriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a. dia berkata, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang apakah ikhlas itu?’, maka Nabi s.a.w. bersabda,’Aku bertanya kepada Jibril tentang apakah ikhlas itu?’, maka Jibril berkata,’Aku bertanya kepada Rabbal ‘izzati (Allah) tentang apakah ikhlas itu?, maka Allah berfirman:’(Ikhlas) adalah salah satu rahasia-Ku yang Aku campakkan pada qalbu orang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku….” (Kitab Bustan al-‘Arifin)
Kemudian Imam Nawawy menjelaskan uraian yang panjang tentang makna ikhlash menurut pandangan para Ulama terutama para Shufy seperti Imam al-Qusyairy, Imam Abu ‘Ali ad-Daqqaq, Imam Abu Ya’qub as-Susy, Imam Dzun Nun al-Mishry, Imam Abi Utsman, Imam Fudhayl bin ‘Iyadh dan lain-lain dari para ulama besar. Dari semua yang diuraikan kembali kepada sebuah kesimpulan bahwa beramal dengan ikhlas merupakan karunia Allah yang perlu diupayakan saat menjalankan ibadah dan amal saleh. Walaupun demikian menurut beberapa ulama ikhlash itu merupakan ‘faidhullooh’/limpahan Allah yang tidak bisa dikasab tetapi bisa dirasakan oleh orang-orang yang menerima limpahan tersebut.
Tetapi, menurut sebagian yang lain bisa dikasab/diusahakan karena ikhlas itu adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim yang mukallaf agar ibadahnya diterima.
Apakah ikhlas itu? Menurut Imam Nawawy dalam banyak referensi, seperti dalam kitab al-Adzkar mendefinisikan ikhlash dengan:
اَلْعَمَلُ لِأَجْلِ اللهِ
“Beramal semata-mata karena Allah”
Sedemikian pentingnya ikhlas sehingga ia merupakan syarat diterimanya ibadah dan merupakan “karcis” menuju syurganya Allah Ta’ala. Siapa yang tidak ikhlas walaupun ibadahnya sangat hebat dalam pandangan dzahir (lahiriah), maka tidak ada yang dapat kita terima pada hari akhirat kecuali kerugian dan neraka.
Sedemikian bangganya kita dengan amal-amal yang belum seberapa padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Imam Nasa-i, dan Imam Ahmad sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّار، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ: فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah r.a. : Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya: 'Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab: 'Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.' Allah berfirman: 'Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.' Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya: 'Apa yang telah kamu perbuat? ' Dia menjawab, 'Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al Qur'an demi Engkau.' Allah berfirman: 'Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur'an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang di beri keluasan rizki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.' Allah bertanya: 'Apa yang telah kamu perbuat dengannya? ' dia menjawab, 'Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridlai." Allah berfirman: 'Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.' Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka." (H. R. Imam Muslim, Imam Nasa-i, dan Imam Ahmad)
Sahabatku, mari kita berfikir dan bertanya pada diri sendiri, “Apakah kita sudah yakin akan menjadi orang yang selamat kelak..... ? Apakah ibadah yang telah dilakukan dengan membusungkan dada itu telah yakin akan diterima? Apakah kita sudah benar-benar menjalankan keikhlasan dalam niat dan ibadah kita?” Wallahu A’lam
Subhanallah, Mahasuci Engkau Ya Allah.... ampunilah kami dari segala kekurangan dalam menjalankan ibadah, jangankan menjalankan ibadah dengan ikhlash memiliki tanda-tanda ikhlash pun masih sedemikian jauh..
اللّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ أَخْلَصَ إِيْمَانَهُ وَقَلْبَهُ فِيْ جَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ
“Ya Allah, jadikan kami termasuk orang yang menjalankan keikhlasan dalam iman dan qalbunya dalam segala ibadah.” Aammiin
Walhamdu lillaah

Selasa, 07 Juni 2016

DIALOG TENTANG SHALAT TARAWEH, 23 ATAU 11 RAKA’AT?

Bismillaah,,
SOAL: Ada anggapan dari segelintir orang bahwa mayoritas umat Islam shalat tarawehnya tidak sesuai dengan Sunnah, karena melakukannya dalam 20 raka’at, bukan 8 raka’at. Bagaimana tanggapan Anda?
JAWAB: Justru anggapan segelintir orang tersebut yang keliru. Sejak masa Khulafaur Rasyidin shalat taraweh dilaksanakan dalam 20 raka’at, ditambah 3 raka’at shalat witirnya.
SOAL: Mereka beranggapan bahwa dasar shalat taraweh itu 8 raka’at, ditambah 3 raka’at shalat witir adalah hadits riwayat al-Bukhari berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلىَ اِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
“’Aisyah radhiyallahu anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melebihi 11 raka’at (shalat malam), baik dalam bulan Ramadhan maupun selainnya.” (HR. al-Bukhari).
Bagaimana tanggapan Anda?
JAWAB: Hadits ‘Aisyah dalam riwayat al-Bukhari di atas memang bukan dalil shalat taraweh. Coba perhatikan, Imam al-Bukhari menulis bab sebelum hadits di atas begini:
بَابُ قِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
Bab shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan dan lainnya.
Dari penyajian al-Bukhari di atas, para ulama memberikan beberapa kesimpulan berikut ini:
Pertama, hadits Aisyah di atas tidak memberikan pengertian bahwa shalat melebihi 11 raka’at hukumnya tidak afdhal (tidak utama), apalagi terlarang atau bid’ah.
Kedua, hadits tersebut hanya menginformasikan bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari 11 raka’at, baik ketika bulan Ramadhan maupun di luarnya.
Ketiga, informasi bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari 11 hanya berdasarkan sepengetahuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
SOAL: Apakah ada bukti riwayat lain bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dari 11 raka’at?
JAWAB: Ya ada beberapa bukti.
Dalam satu riwayat, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru 13 raka’at.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ خُزَيْمَةَ
“Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan shalat malam 13 raka’at.” (HR. Muslim, Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausath [5/157] dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya [2/191]).
Shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak 13 raka’at justru diriwayatkan dari beberapa shahabat antara lain, Zaid bin Khalid al-Juhani, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhum.
Dalam riwayat lain, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 16 raka’at.
عن علي - رضي الله تعالى عنه - (قال: كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصلي من الليل ست عشرة ركعة سوى المكتوبة).
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menunaikan shalat pada malam hari sebanyak 16 raka’at, selain shalat maktubah (fardhu)”. HR al-Imam Ahmad dengan sanad yang para perawinya tsiqat (dipercaya).
Dalam riwayat lain, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 17 raka’at.
روى أبو الحسن بن الضحاك عن طاوس مرسلا (قال: كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصلي من الليل سبع عشرة ركعة).
Abu al-Hasan bin al-Dhahhak meriwayatkan dari Thawus secara mursal, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menunaikan shalat pada malam hari 17 raka’at”. (Al-Shalihi al-Syami, Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-‘Ibad, juz 8 hlm 294).
Dari beberapa versi riwayat yang sampai kepada kita, ternyata shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada 9 riwayat yang berbeda, mulai dari 4, 7, 8, 9, 6, 11, 13, 16 dan 17 raka’at. Semuanya diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits.
SOAL: Berarti kelompok yang memastikan shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
hanya 11 raka’at tidak mengetahui tentang beberapa versi riwayat yang ada dalam kitab-kitab hadits?
JAWAB: Mungkin begitu. Dan atau mungkin juga tahu, tetapi memahaminya dengan kacamata olah raga. Misalnya dia berpikir bahwa riwayat 11 raka’at ada dalam Shahih al-Bukhari, dengan begitu berarti 11 raka’at lebih kuat dari riwayat yang lain. Padahal dalam memahami hadits, sistimatika yang diambil oleh para ulama bukan adu kekuatan riwayat.
SOAL: Kalau memang versi shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam paling banyak 17 raka’at, lalu bagaimana kalau kita shalat lebih dari 17 raka’at?
JAWAB: Shalat malam termasuk shalat sunnah mutlak yang tidak dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat malam dikerjakan 2 raka’at, 2 raka’at. Apabila salah seorang kamu khawatir shubuh, shalatlah 1 raka’at, sebagai witir bagi shalat yang telah dikerjakan.” (HR. al-Bukhari [990]).
Hadits di atas memberikan pengertian, bahwa shalat malam tidak memiliki batas tertentu, misalnya harus 8 atau 10 raka’at. Akan tetapi shalat malam boleh dikerjakan berapa saja, dengan dilaksanakan 2 raka’at, 2 raka’at. Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُوْتِرُوْا بِثَلاَثٍ تَشَبَّهُوْا بِالْمَغْرِبِ وَلَكِنْ اَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ أَوْ بِسَبْعٍ أَوْ بِتِسْعٍ أَوْ بِاِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً أَوْ اَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ ، وَالْبَيْهَقِىُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mengerjakan shalat witir 3 raka’at, menyerupai shalat maghrib. Akan tetapi berwitirlah 5, 7, 9. 11 raka’at, atau lebih banyak dari itu.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1/446], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [3/31], Ibnu Hibban dalam Shahih-nya [6/185], Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausath [5/184]). Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish al-Habir.
Dalam hadits di atas, terdapat perintah menunaikan shalat witir dengan 7 raka’at, 9 raka’at, 11 raka’at, atau lebih banyak lagi. Hal ini membuktikan bahwa shalat malam, termasuk shalat taraweh lebih dari 11 raka’at, yaitu 23 raka’at, tidak termasuk bid’ah, bahkan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits shahih.
SOAL: Mengapa shalat taraweh yang dilakukan oleh umat Islam sebanyak 23 raka’at?
JAWAB: Mayoritas umat Islam melakukan shalat taraweh sebanyak 23 raka’at, karena jumlah itu yang dilakukan pada masa sahabat, yaitu masa Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Al-Imam al-Tirmidzi berkata dalam kitabnya al-Sunan:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ العِلْمِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ: أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً مَعَ الوِتْرِ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَهُمْ بِالمَدِينَةِ.
وَأَكْثَرُ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ الْمُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيِّ.
وقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.
وقَالَ أَحْمَدُ: رُوِيَ فِي هَذَا أَلْوَانٌ وَلَمْ يُقْضَ فِيهِ بِشَيْءٍ.
وقَالَ إِسْحَاقُ: بَلْ نَخْتَارُ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ.
Ahli ilmu (para ulama) berbeda pendapat tentang shalat malam pada bulan Ramadhan. Sebagian berpendapat, untuk menunaikan shalat 41 raka’at bersama witir, yaitu pendapat penduduk Madinah. Pengamalam berlaku seperti ini di kalangan mereka di Madinah.
Mayoritas ahli ilmu mengikut apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan lain-lain dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu 20 raka’at. Ini adalah p
endapat al-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan al-Syafi’i.
Al-Syafi’i berkata: Demikianlah aku menjumpai di negeri kami di Makkah, mereka menunaikan shalat 20 raka’at.
Ahmad berkata: Dalam hal ini telah diriwayatkan beberapa versi, dan tidak pernah dipastikan dengan batasan tertentu.
Ishaq berkata: Kami memilih 41 raka’at sesuai apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. (Sunan al-Tirmidzi, juz 2 hlm 162).
SOAL: Apakah riwayat taraweh 23 raka’at dari para sahabat itu riwayat yang shahih?
JAWAB: Pelaksanaan shalat taraweh secara terorganisir dengan satu imam dan di awal malam, belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. pelaksanaan shalat taraweh tersebut baru dilakukan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Pada awal mula shalat taraweh digagas oleh Khalifah Umar, dilakukan dengan 8 raka’at, plus witir 3 raka’at, dengan imam Ubai bin Ka’ab dan Tamim al-Dari. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’.
Kemudian pada masa-masa selanjutnya, shalat taraweh dilakukan dengan 20 raka’at, dan 3 witir, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’ juga dari jalur Yazid bin Khushaifah. Hal ini dilakukan untuk meringankan kepada jama’ah yang menunaikan shalat taraweh pada waktu itu. Karena ketika shalat taraweh dilakukan dalam 8 raka’at, para imam membacakan 50 atau 60 ayat dalam setiap raka’at, sehingga shalat taraweh selesai menjelang terbitnya fajar. Kemudian karena hal ini dianggap memberatkan bagi jama’ah, lalu sistemnya dirubah menjadi 23 raka’at, di mana dalam setiap raka’at, sang imam hanya membaca 20 atau 30 ayat. Sehingga sedikitnya ayat yang dibaca dalam shalat, dapat tertutupi dengan jumlah raka’at yang lebih banyak.
Pelaksanaan shalat taraweh 23 raka’at padamasa Khalifah Umar tersebut telah dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Khulashah dan al-Majmu’, al-Zaila’i dalam Nashb al-Rayah, al-Subki dalam Syarh al-Minhaj, al-Hafizh Ibnu al-‘Iraqi dalam Tharh al-Tatsrib, al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari, al-Suyuthi dalam al-Mashabih, Ali al-Qari dalam Syarh al-Muwaththa’, al-Nimawi dalam Atsar al-Sunan dan lain-lain. Syaikh Ismail al-Anshari, salah seorang ulama Wahabi kontemporer telah menshahihkan riwayat tersebut dalam dalam kitabnya, Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah wa al-Radd ‘ala al-Albani fi Tadh’ifih. Kitab ini sangat bagus untuk dibaca.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, shalat taraweh tetap dilakukan dalam 23 raka’at, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (juz 2 hal. 496). Shalat taraweh dengan jumlah 23 raka’at berlangsung hingga masa-masa berikutnya. Kecuali penduduk Madinah yang melakukannya 39 raka’at dan 41 raka’at sejak masa Salaf sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits.
SOAL: Bagaimana dengan shalat taraweh menurut Madzhab Empat?
JAWAB: Menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali, jumlah maksimal shalat taraweh adalah 20 raka’at ditambah 3 raka’at shalat witir. Hal ini berdasarkan shalat taraweh yang diriwayatkan dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Sedangkan menurut madzhab Maliki, jumlah raka’at shalat taraweh menurut riwayat yang populer dari Imam Malik adalah 46 raka’at, selain raka’at witir, sebagaimana diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Oleh karena itu pandangan yang membid’ahkan shalat taraweh lebih dari 11 raka’at adalah pandangan yang bid’ah dan tidak sesuai dengan ijma’ ulama salaf yang shaleh. Wallahu a’lam.
Walhamdu lillaah

SALAH SATU HIKMAH SHAUM (K. AAS AHMAD KHULASOH, S.Pd.I., M.Pd.I.)

Bismillaah,,
Salah satu hikmah shaum adalah membentuk pribadi-pribadi yang handal untuk menjadi pemimpin. Setiap kita adalah pemimpin, dan suatu saat akan mempertanggungjawabkan kepemimpinan tersebut. Pemimpin yang baik adalah yang mampu menjadi teladan bagi pengikutnya, dan tentunya memiliki “ability” (kemampuan) dan “competency” (kompetensi). Adanya kemampuan dan kompetensi terlahir setelah seseorang mengalami berbagai proses dalam hidupnya, terutama dalam hal kemampuan menghadapi situasi sulit dan kemampuan mengendalikan diri. Ibadah shaum akan memberikan efek terhadap hal itu, tentunya ketika seseorang melakukan shaum dengan “iimaanan wa-htisaaban”.
Agama Islam termasuk yang memperhatikan hal ini, termasuk dalam kepemimpinan shalat atau menjadi pemimpin suatu kaum. Pada bab siapa yang lebih berhak menjadi pemimpin, imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:” يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ” قَالَ الْأَشَجُّ فِي رِوَايَتِهِ: مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا
Dari Abi Mas’ud al-Anshary, ia berkata, telah bersabda Rasulullah s.a.w., “(Yang pantas) mengimami suatu kaum adalah mereka yang paling pandai membaca Kitab Allah (al-Qur’an). Jika mereka sama pandai, pilihlah yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka sma alimnya, pilihlah yang lebih dulu hijrah. Jika mereka bersamaan dalam hijrah, pilihlah yang lebih tua usianya (dalam memeluk Islam). Janganlah kamu menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain dan janganlah duduk di tempat yang disediakan khusus untuk kemuliaan seseorang, kecuali dengan izinnya.” (Shahih Muslim)
Hadits di atas menurut para ulama adalah kriteria-kriteria seseorang yang berhak menjadi imam dalam shalat. Akan tetapi saya berpendapat, kriteria ini bisa diterapkan juga pada kepemimpinan di luar shalat dengan beberapa pendekatan.
Dalam kitab al Minhaj, yang merupakan syarah imam Nawawy atas kitab Shahih Muslim dalam uraian yang panjang, kriteria “aqro-uhum” dalam pandangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebagian Ashab Syafi’i berpendapat “aqro-uhum” (mereka yang lebih pandai membaca Kitab Allah) didahulukan daripada “أفقههم “ /afqohuhum (mereka yang lebih faham Kitab Allah). Tetapi menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i, kriteria “أفقههم “ /afqohuhum didahulukan daripada “aqro-uhum”. Buktinya adalah Sayyidina Abu Bakar r.a. didahulukan menjadi imam shalat padahal Rasulullah s.a.w. mengetahui ada sahabat lain yang lebih pandai bacaannya daripada Sayyidina Abu Bakar r.a. bahkan imam Nawawy menyebutkan satu pendapat, bahwa kriteria yang paling penting adalah “ الأورع“/al-Awro’u (yang lebih wara’, lebih hati-hati dalam memperhatikan halal dan haram). “Al-Awro’u” ini lebih didahulukan daripada “al-Afqahu” dan “al-Aqra-u”, karena maksud kepemimpinan akan berhasil melalui orang yang lebih wara’ daripada selainnya. Dan selanjutnya an-Nawawy menguraikan kriteria-kriteria berikutnya. (Lihat kitab al-Minhaj Syarh shahih Muslim bin al-Hajjaj, Dar Ihyaa at-Turats al-‘Araby, cetakan ke-2 Juz 5 hal. 172, 1392 H)
Sahabatku, memang mencari kriteria pemimpin yang ideal itu cukup sulit di masa sekarang walaupun di dalam hadits di atas usia menjadi kriteria terakhir dalam kepemimpinan. Kemampuan dan kompetensi menjadi pilihan utama dan pertama dibandingkan dengan semuanya. Senioritas memang salah satu kriteria, akan tetapi harus ditempatkan secara proporsional.
Inilah salah satu kendala di negeri kita yang sering menerapkan masalah senioritas tetapi bukan pada tempatnya, tidak proporsional yang akhirnya malah berakibat tidak baik kepada suatu lembaga atau organisasi yang sedang dikelola. Apalagi, ketika tingkat wara’ nya tidak nampak, maka antara yang halal dengan yang haram menjadi “abu-abu”, permasalahan bangsa yang multidimensi menurut saya salah satunya disebabkan kesalahan dalam mengangkat “pemimpin”. Dikhawatirkan ketika semua ini terus terjadi, maka Firman Allah menjadi kenyataan:
يستبدل قوما غيركم ولا يكونوا أمثالكم
“..... tergantikan oleh kaum selainmu dan tiada yang sepertimu.” (al-Qur’an)
Maka berhati-hatilah dalam masalah kepemimpinan, karena tugas kita di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT dan menjadi khalifah fil ardh (pengatur muka bumi ini).
إِلهي طُوْل الْأَمَلِ غَرَّنِيْ وَحُبَ الدُّنْيَا أَهْلَكَنِيْ وَالشَّيْطَان أَضَلَّنِيْ وَالنَّفْس الْأَمَّارَة بِالسُّوْءِ عَنِ الْحَقِّ مَنَعَتْنِيْ وَقَرِيْنُ السُّوْءِ عَلَى الْمَعْصِيَّةِ أَعَانَنِيْ فَأَغِثْنِيْ يَا غِيَاثَ الْمُسْتَغِيْثِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَرْحَمْنِيْ فَمَنْ ذَا الَّذِيْ يَرْحَمُنِيْ غَيْركَ
“Ilahi, panjangnya angan-angan telah menipuku, cinta dunia telah mencelakakanku, syetan telah menyesatkanku, nafsu ammarah yang mengajak kepada keburukan yang menentang dari kebenaran telah menghalangiku, teman yang jahat telah menolongku berbuat maksiat. Maka tolonglah aku, wahai Penolong orang-orang yang memohon pertolongan, jika Engkau tidak merahmatiku maka siapa lagi yang akan menyayangiku selainMu.”
Aammiin,,
Walhamdu lillaah